Keluar dari Jurang Krisis dengan Lima Visi Kepemimpinan Nasional


Berakhir sudah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PKS pada Kamis, (18/3). Saat penutupan, saya menyampaikan Pidato Politik. Salah satu yang saya paparkan tentang Lima Visi Kepemimpinan Nasional.

Satu tahun sudah kita terkepung Pandemi Covid-19. Dampaknya tak hanya pada sektor kesehatan, tapi juga sosial ekonomi dan politik. Bahkan kita sudah mengalami resesi ekonomi. Secara umum, melihat data dan fakta, kita berada dalam periode krisis di berbagai bidang.

Para Pendiri Bangsa (Founding Fathers) sudah memberikan warisan kepada kita. Sebuah resep yang dapat membawa kita keluar dari jurang krisis. Yakni berupa Lima Visi Kepemimpinan yang.

Pertama, Visi Ketuhanan. Bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang religius, yakni bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, bangsa yang senantiasa menempatkan agama dalam tempat yang mulia. Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara komunis yang mengabaikan peran agama.

Jika ada kebijakan yang berusaha memarginalkan atau bahkan menghilangkan peran agama dalam proses pembangunan di negeri ini, maka itu adalah tindakan yang mengkhianati Visi Ketuhanan.

Oleh karena itu, jika benar peta jalan pendidikan nasional tidak memasukan peran agama dalam visi pendidikan nasional, maka kebijakan tersebut harus dikoreksi karena tidak sesuai dengan visi Ketuhanan.

Visi Ketuhanan adalah bukti nyata bahwa kepemimpinan bangsa harus dimulai dengan semangat menghormati dan memuliakan ajaran dan nilai-nilai agama. Ir. Soekarno, Dr. Hatta, M. Natsir, Haji Agus Salim, Panglima Besar Jenderal Sudirman, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Maramis dan Para Pendiri Bangsa lainnya menyadari bahwa amanah kepemimpinan tidak hanya bersifat duniawi tetapi juga ukhrowi.

Kepemimpinan tidak hanya membangun kemajuan fisik berdimensi material tetapi juga membangun jiwa berdimensi transendental. Hal itu tercermin dari lagu kebangsaan ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya!’.

Kedua, Visi Kemanusiaan. Tanggungjawab negara adalah memanusiakan manusia, menjaga harga diri dan martabat manusia, melindungi hak-hak asasi manusia dan memajukan kualitas Sumber Daya Manusia. Indonesia bukan negara kapitalis-liberal yang meletakkan kepentingan pembangunan ekonomi di atas nilai-nilai kemanusiaan.

Pemimpin yang memiliki Visi Kemanusiaan akan meyakini bahwa dalam mengendalikan pandemi, negara harus lebih mengutamakan keselamatan jiwa warganya dibandingkan memacu pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, Visi Kebangsaan. Kepemimpinan nasional harus berakar kepada Visi Kebangsaan yang sama: satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia. Visi kepemimpinan harus mempersatukan dan mempersaudarakan, bukan memecah belah apalagi mengadu domba.

Di tangan pemimpin yang memiliki Visi Kebangsaan, Pancasila akan menjadi energi besar yang menyatukan seluruh komponen bangsa.

Sebaliknya, di tangan pemimpin yang buta Visi Kebangsaan, maka Pancasila akan dijadikan alat kekuasaan untuk memberangus kelompok-kelompok yang dianggap mengancam kekuasaan.

Bangsa ini membutuhkan kepemimpinan yang bisa membawa perasaaan yang sama: satu rasa, satu nasib dan satu penanggungan.

Pemimpin yang ketika berbicara, rakyat bisa memegang teguh kata-katanya. Pemimpin yang ketika bekerja, rakyat bisa menikmati hasil karyanya. Pemimpin yang ketika berbuat salah, berlapang dada menerima nasehat dari rakyat yang dipimpinnya.

Keempat, Visi Kerakyatan. Indonesia dibangun dengan semangat gotong royong oleh Para Pendiri Bangsa. Mereka mewariskan apa yang kita kenal dengan konsep demokrasi permusyawaratan dan perwakilan. Itulah Visi Kerakyatan.

Hari-hari ini kita menyaksikan bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran. Setelah lebih dari dua dekade pasca reformasi, Indonesia gagal melakukan konsolidasi demokrasi.

Hingga hari ini, kita menyaksikan demokrasi di Indonesia perlahan-lahan menuju jurang kehancuran. Kebebasan sipil semakin menurun, indeks demokrasi terus merosot dan penyalahgunaan kekuasaan serta praktik korupsi semakin menjadi-jadi.

Adanya wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode membuat demokrasi kita semakin mundur ke belakang. UUD NRI 1945 pasal 7 telah tegas mengatur jabatan Presiden hanya dua periode.

Pentingnya pembatasan jabatan Presiden adalah untuk menghindari adanya penyelewengan kekuasaan, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selain itu, pembatasan 2 periode untuk memastikan bahwa kaderisasi kepemimpinan nasional berjalan dengan baik. Rakyat harus diberikan pilihan calon-calon presiden baru yang akan memimpin Indonesia ke depan.

PKS meyakini bahwa negeri ini memiliki banyak stok pemimpin dan tokoh yang memiliki kredibilitas, kapasitas, dan akseptabilitas untuk memimpin Indonesia ke depan.

Kelima, Visi Keadilan. Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Kekuasaan tidak boleh melumpuhkan sendi-sendi dan pilar-pilar negara hukum. Hukum harus berpihak kepada kebenaran dan keadilan bukan kepada kekuasaan dan pendukung kekuasaan.

Visi Keadilan, jelas Syaikhu, harus termanifestasi di berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang ekonomi, negara harus mewujudkan ekonomi yang membawa rasa keadilan dalam penguasaan aset dan distribusi pendapatan ekonomi nasional.

Dalam bidang politik, negara harus memperkuat agenda demokrasi substansial. Dalam bidang hukum, negara harus konsisten mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta berpegang teguh dalam menegakkan supremasi hukum di atas kepentingan politik maupun ekonomi.

Syaikhu juga menegaskan, bagi PKS, Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah konsensus yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

Tugas kita saat ini adalah merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima visi kepemimpinan yang bersumber dari Pancasila merupakan panduan bagi kita semua.

Kini, semua berpulang pada kita. Warisan kebaikan telah ditinggalkan oleh Para Pendiri Bangsa. Maukah kita mempraktekkannya?

Semoga.

Tinggalkan komentar