Pidana dalam RUU Perkawinan


sumber: Republika 27-02-2010

*Nasir Djamil*
Anggota DPR RI FPKS

Di saat menunggu hasil kerja Panitia Khusus Angket Bank Century pada pleno
akhir bulan Februari ini, masyarakat Indonesia dihadapkan pada pelbagai isu
lain yang lebih menarik dan bisa mengalihkan perhatiannya. Di antaranya
adalah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan.

Draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010
ini mencantumkan ketentuan pidana (pemidanaan) bagi para pelaku perkawinan
sin dan lain-lain. Menurut saya, isi draf RUU yang memuat pemidanaan bagi
pelaku perkawinan siri ini tidak pantas untuk menjadi undang-undang. Sebab,
draf RUU ini memiliki dampak yang cukup besar terhadap agama dan sosial
masyarakat yang ada.

Draf RUU yang nantinya akan menjadi pelengkap Undang-Undang Nomor 1/1974
tentang Perkawinan ini pada dasarnya akan mencederai reli-giositas bangsa
Indonesia . Adanya ketentuan pemidanaan penjara atau denda jutaan rupiah bagi
para pelaku perkawinan siri akan berdampak serius terhadap perilaku agamis
yang selama ini ditunjukkan masyarakat.

Saya khawatir bahwa draf RUU terkait perkawinan siri ini justru akan
menimbulkan maraknya praktik prostitusi,
perzinahan, dan kumpul kebo. Jika alasan yang benar secara syariat ternyata
dipidanakan, logika masyarakat akan menjadi sesat dan memilih perzinahan,
untuk menghindarkan diri dari aturan hukum ini.

Secara substansi perkawinan, kawin siri tetap sah jika dipandang dalam
ketentuan syariat. Para pelaku perkawinan siri pun tidak bisa dinilai
sebagai seseorang yang menyalahi aturan syariat. Ia bahkan telah menjalankan
syariat untuk menghindarkan diri dari segala kemaksiatan yang bisa datang
jika tidak melakukan perkawinan siri. Dengan demikian, esensi syariat
keagamaan ini tentu harus lebih dikedepankan. Bahkan, jika serius, lebih
baik draf RUU ini memuat aturan-aturan yang ketat mengenai perzinahan,
praktik prostitusi, dan kumpul kebo.

Jika praktik yang jelas sesuai syariat justru rencananya akan dipidanakan,
praktik yang landasan hukumnya qathi secara syariat, seperti haramnya
perzinahan, praktik prostitusi, dan kumpul kebo, mengapa pula tidak diatur
dengan ketat pemidanaannya?

Jika dilihat secara sosiologis, adanya aturan pemidanaan terhadap perkawinan
siri ini juga akan menimbulkan gejolak sosial yang tidak kecil. Dalam
kondisi materi (pendanaan) yang terbatas akibat dari penghasilan masyarakat
yang tidak merata, pelarangan perkawinan siri hanya akan menimbulkan gejolak
di masyarakat. Dalam kondisi tekanan finansial seperti ini, masyarakat akan
lebih memilih menolak untuk mendaftarkan perkawinannya ke KUA karena
biayanya tinggi.

Menurut saya draf RUU tentang perkawinan siri ini belum secara matang
dibahas pemerintah. Saya khawatir, draf ini telah disusupi oleh
pemikiran-pemikiran liberal. Akibat-akibat yang jauh lebih buruk dari
pengaturan perkawinan siri ini merupakan penggiringan masyarakat untuk
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat.

Padahal, peradaban Islam selalu dimulai dengan fondasi yang kuat dalam
aturan-aturan yang terkait moral masyarakat. Moralitas ini harus dimulai
melalui teladan para pemimpin agar masyarakat terhindar dari pengaruh buruk
pemahaman-pemahaman liberal yang akan menjerumuskan masyarakat. Dalam
konteks kekinian, teladan itu bisa merupakan produk legislasi yang baik yang
memuat aturan-aturan sesuai dengan syariat.

Menurut saya, isu perkawinan siri pun bisa menjadi peluang politisasi untuk
menyerang pihak-pihak yang selama ini membolehkan praktik perkawinan siri.
Meskipun belum ada data akurat mengenai perkawinan siri, dapat dipastikan
bahwa sebagian masyarakat sudah mempraktikkannya sejak lama. Alasan
sederhananya adalah karena memang praktik ini sah secara agama, begitu pula
alasan-alasan keterbatasan finansial di masyarakat.

Saya setuju jika pemerintah tidak mengkriminalisasi warga negara yang tidak
mencatat perkawinannya. Sebab, perkawinan siri adalah bentuk formalitas
sebuah perkawinan. Dikhawatirkan, jika pemerintah terlalu mengurus
formalitas perkawinan, ini justru akan menjadi kontraproduktif dengan
upaya-upaya penegakan hak asasi manusia pemerintah terhadap warga negaranya.

Jika pemerintah menilai adanya dampak yang serius terhadap masalah
kependudukan sebuah perkawinan siri, berikanlah masyarakat pemahaman
mengenai arti pentingnya pencatatan perkawinan bagi negara. Jika pemerintah
menilai bahwa perkawinan siri akan berdampak serius terhadap hak waris anak
nantinya, berikanlah masyarakat pemahaman mengenai konsekuensi hak waris
anak dalam perkawinan siri karena tidak tercatat oleh negara.

Dengan demikian, sosialisasi pemahaman mengenai pentingnya pencatatan
perkawinan bagi kependudukan dan konsekuensinya bagi hak waris anak kepada
masyarakat akan lebih bijak daripada ribut-ribut pemidanaan terhadap para
pelaku perkawinan siri.

Masyarakat semakin cerdas memandang produk-produk hukum pemerintah.
Perum-pamaannya adalah Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang
lautan tampak. Persoalan perzinahan, praktik prostitusi, dan kumpul kebo
yang jelas haram secara syariat tidak diperketat aturan pidananya, sedangkan
perkawinan siri yang sah justru dipidanakan. Semoga ribut-ribut pemerintah
mengenai draf RUU terkait perkawinan siri ini tidak seperti perumpamaan
tersebut. Wallahualam.

Republika 27-02-2010

Tinggalkan komentar