Lelaki Gulma by @ewahyudie


image

Lelaki Gulma

PKS-Cibitung.com [TM]
Saung2 itu, ditepi ladang. Tenang. Sepi. Menghadap jernihnya air kolam yang sesekali beriak. Kecipak ikan terdengar menengahi sunyi. Lelaki itu bermata teduh. Lekat memandang kelompok cyperus rotundus3. Keluarga gulma, yang sama seperti dirinya. Tumbuh namun dicela!
Meskipun sebenarnya tidak. Tidak merasa. Tidak juga menjadi cita-cita!
Masih saja ia terduduk. Tepi ladang, di ujung kampung. Itulah tempatnya berdendang. Tempatnya melantunkan segala resah. Resah yang selalu mengiring sebutannya; lelaki gulma! Gelar yang dikenakannya sendiri. Gelar yang menurutnya lebih eksentrik, daripada sebutan ”lelaki tak berguna” dari orang-orang di sekitarnya.
“Abah malu! Malu sama semua penduduk kampung ini. Masak setahun lebih kamu menganggur. Percuma! Sia-sia!”
”Percuma bagaimana, Bah?” lelaki gulma itu terperangah.
”Ini bukan masalah perut, Haris! Tujuh turunan sekalipun abah sanggup membiayaimu. Tapi gengsinya? Gengsi….atuh! Masak sarjana nganggur! Mau ditaruh dimana muka abah, hah?!”
”Saya bukan nolak kerja di luar, Bah. Tapi…?”
”Sudah! Memang ambu4 yang melarang. Biarlah Haris disini saja. Sawah kita pan luas, Bah. Suruh saja anak kita yang mengurus”
”Apa?! Hoho….kalau cuma jadi tukang cangkul, ngapain dulu sekolah sampai sarjana, Mbu?! Teu5! Abah teu setuju!”
Ambu terdiam. Suasana senyap. Abah mengerutkan dahi.
”Begini sajalah…” abah memecah kebisuan. Kepalanya manggut – manggut.
“Kita minta kerjaan sama Pak Camat. Kita usahakan. Yang penting kerja. Kalau perlu kita bayar. Bagaimana, Ambu?” abah menggelontorkan gagasannya.
“Abah, mau nyogok Pak Camat?”
”Pan namanya juga ikhtiar, Mbu” abah melunak
”Astaghfirullah, ikhtiar apa, Bah? Nyebut atuh. Apa kata Allah nanti?! Masak mau kerja saja kudu nyogok. Hih! teu sudi ambu mah! Amit-amit! Naudzubillah” Ambu bergidik. Abah bungkam. Lelaki gulma tertunduk lesu.
Selalu seperti itu. Hampir setiap hari! Dialog dan ketegangan seperti pertunjukan ketoprak. Mengulang cerita dari tokoh yang sama, tak ubahnya skenario. Ironis!
Lelaki gulma itu menatap jauh. Keluarga burung manyar hinggap diatas saung. Sejenak cicitnya terdengar. Kemudian menjauh. Terbang. Menggapai sarang yang menjuntai di belarak6.
Angan lelaki itu mengawang. Alangkah damai burung-burung disana. Merajut sarang, hinggap, bertelur, dan bercengkrama mengisi hidup. Tak sibuk bergunjing. Tak sibuk berpikir tentang gelar akademis, harta, kerja, gengsi, uang, sogok, hih! Huh! Hah! amit-amit! Naudzubillah!
Angin berhembus kencang menebar hawa dingin. Menyusup, menggelitik pori – pori yang semakin menguncup. Saung menggigil, keluarga burung manyar terdiam. Beringsut, masuk kedalam sarangnya yang mirip songsong lampu teplok. Awan kelabu bergantung. Hujan tak lama akan menjelang.
Lelaki gulma itu bangkit dengan malas. Kakinya mendayung pedal sepeda kumbang. Melaju semakin kencang. Melindas kerikil yang terhampar di jalanan. Petir menggelegar. Berkilat di petala langit. Gerimis mulai berjatuhan. Mengepulkan debu yang tertimpa air. Bau tanah menyengat. Matanya berkilat. Tak jauh dihadapannya, berdiri warung kopi milik Darsun. Lumayan, bisa numpang berteduh. Itu pikirnya.
Ia sandarkan sepedanya. Berdiri. Tubuhnya merapat pada tiang kayu penyangga teras. Hujan mengguyur. Jatuh, bergulir melalui cucuran atap. Tak lama kemudian, telinga lelaki itu mengembang. Merah. Panas.
”Oh, dia yah yang katanya sarjana itu?” suara setengah berbisik terdengar dari belakang. Entah. Dari mulut siapa terlontar? Ia tak tahu.
”Hush..jangan keras-keras. Iya, dia orangnya. Sayang, ilmunya tak berguna” suara lain menimpali. Tak kalah berbisik.
“Wah, ada pantunnya kalau gitu…” suara perempuan, seolah sengaja dikeraskan.
“Apa coba?” kini suara sudah lagi tak tertutupi. Jelas terdengar ditelinga lelaki gulma.
”Rujak cingur, rujak benalu. Sarjana nganggur? Nggak maluuu…..hihihi”
”Haa..haa..haa…”  suara tawa meledak. Serempak. Bagaikan koor anak-anak saat upacara.
Lelaki gulma gusar. Matanya merah. Panas. Dengan kasar sepeda kumbangnya ditarik. Pergi. Menjauh. Meninggalkan mulut nyinyir para penggunjing.
Hujan terus mengguyur. Petir sesekali terdengar. Kasar menyambar. Air matanya berlinang. Perih tak terperi. Malu tak kunjung berlalu. Ilmu yang dituntut, bagai parang tak berulu7.


Siang itu, awal Juli. Lelaki gulma mengayuh sepeda. Ia merindu. Rindu saung. Rindu kolam. Rindu memadu kasih dengan segala cita. Cita yang tak seperti cita abah. Cinta untuk cinta yang tak terlerai8. Cinta antara asa dan jiwa. Satu-dua kerikil kecil mencelat, tergilas ban sepeda. Mulutnya bergerak. Dendang shawalat yang dilagukan terdengar perlahan. Bahagia? Tidak! Sedih? Ah, tidak juga! Semilir angin menghadang. Meniup bajunya yang gombrang9. Menebar ketepi. Membentuk sayap dibawah ketiak.
“Tak usah sekolah lah, Nak! Emak tak punya uang” seorang ibu dipinggir jalan. Mukanya basah. Punggungnya basah. Rautnya susah.
Lelaki gulma melewatinya tiga putaran roda. Penasaran menyeruak. Tangannya cekatan meraih rem. Ciittt….
“Ujang mau sekolah, Mak” seorang anak, berkisar tujuh tahunan, berdiri dihadapan wanita itu. Tangan kecilnya mengusap air mata yang terus mengalir. Sebuah pensil kayu terselip di daun telinga kirinya yang mungil.
“Sudahlah, Ujang. Sekolah itu mahal! Mana cukup bermodal pensilmu itu saja. Ayo pulang!” Sang ibu jengkel. Tangannya berkacak di pinggang.
”Nggak mau! Ujang mau sekolah!” Ujang berkeras. Tangisnya bertambah deras.
”Jangan ngimpi, Ujang! Buat makan saja susah. Dari mana biaya sekolah, hah?! Ayo, pulang!”
Tangan Ujang ditarik. Kasar. Tubuhnya condong kedepan. Kakinya berat berjalan.
Lelaki gulma tercenung. Lubuk hatinya merintih. Mata sedih Ujang menggurat dalam angannya. Mimpikah ini? Lelaki gulma itu mencubit tangannya. Aduh! Ia meringis. Pergelangan tanganya memerah. Nyata! Ujang dan emaknya bukan cerita sandiwara? Ia masih saja tak percaya. Matanya berputar, menelisik tempat dimana adegan tadi berlangsung. Sebuah benda tergeletak, pensil kayu! Ia rebahkan sepedanya. Berjalan. Terhuyung mendekati benda kecil itu. Tangannya gemetar. Air mata di pelupuknya mendanau. Tergenang. Batin yang teriris. Sakit. Lebih sakit dari mendengar gunjingan mulut nyinyir di warung kopi Darsun.
Kali ini ia putuskan memutar arah. Kencang kakinya mengayuh pedal sepeda. Keringat turun membasahi wajah. Mengalir di celah bibirnya. Asin! Lelaki gulma itu meradang. Kerikil beterbangan. Ia menderu membelah angin. Hatinya terbedah. Memintanya untuk berubah!
Sepeda kumbang tersandar di pohon jambu. Pemiliknya duduk menghadapai lembaran triplek yang baru selesai digergaji. Pensil kayu milik Ujang, kini erat ditangannya.
”Bismillah….”
Tangannya bergerak. Lincah merangkai huruf. Lembar demi lembar triplek ia tulisi dengan kalimat yang sama. Hingga triplek terakhir yang dikerjakannya. Lelaki gulma tersenyum. Manis. Bahkan, teramat manis untuk sebuah senyum yang tak pernah tergurat dibibirnya. Matanya bersinar. Menerobos. Masuk. Menerawang permukaan triplek yang bertuliskan:
“Di Saung, Sekolah Gratis! ttd Haris”


Keluarga manyar masih bernyanyi. Berbagi kebahagiaan kepada semesta. Anak-anak mereka baru saja menetas. Cicit mungil menyeruak. Menebar sapa kepada semua. Keladi, rumput, kangkung rambat, eceng gondok, semua jenis tumbuhan diatas kolam tengadah  menyambut gembira.
Siang itu, angin berhembus. Masuk. Menerobos ke dalam saung melalui celah anyaman belarak. Lelaki gulma terduduk. Tapi, kini ia tak sendiri. Belasan anak bermain di tepi kolam. Merangkai suka cita. Ujang duduk disampingnya. Sebuah pensil kayu terselip di telinga kiri. Bibirnya terbata, mengeja tulisan dalam buku di pangkuannya.
”Anak-anak. Mari berkumpul” lembut lelaki gulma itu memanggil, meski suaranya telah ia keraskan.
”Ah, Bapak! Nanti ajalah, Pak” seorang anak perempuan menjawab. Tawa kecilnya meningkahi keceriaan yang semarak.
”Iya, Pak. Nanti aja, ya?” anak yang lain merayu. Lelaki itu tersenyum.
“Sudah ya, Nak. Sekolah kita hari ini selesai. Hari mau hujan. Yuk, kita berdo’a bersama  sebelum pulang”
Anak-anak bubar. Lelaki gulma mengayuh sepedanya. Petir sesekali menyambar. Hujan perlahan turun. Seperti dulu. Terpaksa ia singgah di warung kopi Darsun. Air mengalir, deras berjatuhan. Lelaki gulma itu bersandar. Pada tiang yang dulu juga. Seperti mengulang kejadian lama. Telinganya kembali mengembang. Hatinya terhenyak.
”Oh, dia yah yang katanya sarjana itu?” suara setengah berbisik terdengar dari belakang. Entah. Dari mulut siapa terlontar? Ia tak tahu. Seperti dulu!
”Yang guru di saung itu, ya?” suara perempuan terdengar renyah.
”Subhanallah, sungguh mulia perjuangannya. Sungguh, sangat berguna ilmunya” suara seorang lelaki. Tak lagi tertutupi. Jelas terdengar di telinganya
”Lho, kok ndak disuruh masuk? Malah dibiarkan disana. Kasihan kan kehujanan. Pada ndak tahu terima kasih” suara lain menimpali.
Lelaki gulma itu masih berdiri. Tangannya sesekali terjulur mempermainkan air hujan yang bergulir. Hatinya mengembang. Benarkah aku orang mulia? Ah, aku tak merasa! Meskipun itu menjadi cita-cita. Biarlah aku tetap menjadi lelaki gulma, untuk Tuhanku yang Maha Kuasa. Seutas senyum tergurat dari bibirnya. Manis. Bahkan teramat manis.
Diliriknya sepeda kumbang yang dulu ia pacu. Dari situ, dari sejuta gunjing yang ia dengar. Dulu! ( * )
Petropolis, untuk saudaraku.

Catatan :
1 Tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi ( Sumber: Wikipedia )
2 Gubuk.
3 Teki ladang.
4 Ibu.
5 Tidak.
6 Pelepah daun kelapa.
7 Parang Tak Berulu, judul cerpen karya Raudal Tanjung Banua, Koran Tempo Minggu, 9 Maret 2003.
8 Cinta Tak Terlerai, judul novel karya Jonriah Ukur Ginting ( Jonru )

9 Kebesaran, kedodoran.

Sumber : http://www.ewamazing.com/2014/05/cerpen-lelaki-gulma.html?m=1

Download Aplikasi PKS CIBITUNG on Android di link – https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pks.cibitung

Tinggalkan komentar