MUSYARAKAH


Oleh: Mahfuz Sidik

Semenjak jamaah Ikhwan berdiri pada Maret 1928, berbagai memorandum, proposal dan program reformasi menyeluruh telah diajukan oleh jamaah ini. Semua ini menegaskan

bahwa jamaah Ikhwan menganut manhaj musyarakah ijabiyah banna-ah (partisipasi positif konstruktif) bagi perbaikan umat. Juga tidak asal kritis dengan hanya menunjuk sisi-sisi negatif, kelemahan dan kesalahan-kesalahan tanpa solusi.[1]

Kesimpulan ini akan kita temukan ketika menelaah secara cermat pemikiran politik jama’ah Ikhwan dan manhaj perjuangan politiknya. Manhaj musyarakah ijabiyah banna’ah diletakkan sejak awal oleh Imam Hasan Al-Banna, dan inilah yang menjadi landasan bagi amal siyasi jama’ah dakwah terbesar di dunia sejak awal berdirinya hingga sekarang ini.

Telaah mengenai hal ini bisa kita lihat dalam buku At-Tarbiyah As-Siyasiyah ‘inda Al-Ikhwan Al-Muslimin karya Ust. Dr. Utsman Abdul Muiz Ruslan,  buku Al-Fikru As-Siyasi Al-Muashir ‘inda Al-Ikhwan Al-Muslimin karya Ust. Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, dan buku Al-Fikru As-Siyasi lil-Imam Hasan Al-Banna karya Ust. Dr. Ibrahim Al-Bayumi Ghanim.

Ijtihad Politik Ikhwan dan Cara Mensikapinya

Ijtihad politik yang telah mengantarkan jama’ah Ikhwan sebagai gerakan dakwah dan politik Islam terbesar yang tersebar di berbagai negara ini, oleh Ust.  Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya Fiqhu As-Siyasi ‘inda Al-Imam Hasan Al-Banna, disebut sebagai Fiqh Politik Hasan Al-Banna. Lebih jauh, Ust. Abu Faris menekankan perlunya ketaatan jama’ah Ikhwan terhadap Fiqh Politik ini. Beliau menulis: “Hasan Al-Banna menjadikan ketaatan seorang tentara terhadap pemimpinnya sebagai salah satu rukun bai’at. Bai’at ini dilakukan oleh seorang anggota terhadap pemimpin jama’ah”.[2]

Hasan Al-Banna menjelaskan makna ketaatan ini sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ta’at adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya secara langsung baik dalam kondisi sulit maupun mudah, dengan semangat maupun terpaksa.”[3] Dalam jama’ah ini, ta’at merupakan salah satu dari al-arkan al-bai’ah yang menjadi pilar-pilar komitmen amal dakwah para anggotanya. Menurut Ust. Abu Faris, bai’at itu sendiri pada dasarnya adalah aqad politik antara seorang pemimpin dan anggota, yaitu dengan memberikan sumpah kepada seorang pemimpin untuk mendengarkan dan mematuhi, baik dengan sukarela, terpaksa, sulit maupun mudah, serta melimpahkan semua urusan kepadanya dalam mengatur jama’ah di mana setiap anggota menjadi salah satu unsur bagi jama’ah tersebut.[4]

Jalur Perjuangan Konstitusional

Sebagai gerakan dakwah, Ikhwan menjadikan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam. Dalam mewujudkan tujuan dan sasaran amalnya di bidang politik, Hasan Al-Banna sejak awal menggariskan jalur perjuangan konstitusional sebagai jalan yang ditempuh oleh Ikhwan. Beliau menyatakan:

“Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarananya. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional hingga suara dakwah ini terdengar di berbagai  forum resmi, yang lalu didukung dan ditegakkan oleh kekuatan eksekutif. Berdasarkan prinsip ini, maka calon dari Al-Ikhwan Al-Muslimun akan maju pada saat yang tepat untuk mewakili rakyat di gedung parlemen. Kami sangat yakin akan memperoleh keberhasilan selama dalam semua kegiatan ini mengharap pahala Allah SWT.”[5]

Menurut argumentasi Hasan Al-Banna, jalur perjuangan konstitusional merupakan cara yang paling kecil resikonya terhadap umat dan dakwah. Cara-cara di luar jalur itu hanya akan ditempuh manakala situasi-kondisi obyektif menuntut hal tersebut, seperti dalam perjuangan politik untuk membebaskan negeri-negeri muslim dari penjajahan. Jalur perjuangan konstitusional dan perubahan secara damai ini, secara panjang lebar telah diulas oleh Ust. Dr. Ibrahim Al-Bayumi dalam tema Manhaj At-Taghyir fii Marhalati At-Tanfidz: At-Tahawul As-Silmiy am Al-Inqilaab Ats-Tsauri? [6]

Di atas dasar pandangan inilah, Ikhwan kemudian mengembangkan ijtihad tentang kebolehan mendirikan partai politik bagi gerakannya di berbagai negara. Pendapat paling mutakhir diajukan oleh Dr. Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa sistem kepartaian atau multi partai politik dalam daulah Islam tidak dilarang keberadaannya. Bahkan menurut beliau, boleh jadi multipartai sangat dibutuhkan pada zaman sekarang, untuk bisa mencegah otokrasi kekuasaan individu atau golongan tertentu.[7] Maktabul-Irsyad Jama’ah Ikhwan sendiri pernah mengeluarkan sebuah manifes tentang Syura dan Multipartai di Masyarakat Muslim yang menguatkan pandangan Yusuf Qardhawi.[8]

Komitmen Ikhwan pada Demokrasi

Di atas dasar pandangan ini pula, Ikhwan menerima demokrasi sebagai mekanisme perjuangan politik konstitusional yang dilakukan oleh multipartai, tanpa mengkontradiksikannya dengan prinsip syura. Dalam berbagai pandangannya, Hasan Al-Banna menegaskan bahwa syura merupakan bagian dari sistem Islam yang harus dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam implementasi kenegaraannya, ketika jumlah umat menjadi banyak dan besar, maka syura bisa menggunakan mekanisme perwakilan. Lebih lanjut Hasan Al-Banna menjelaskan:

“Para pakar hukum per-undang-undangan mengatakan bahwa sesungguhnya sistem perwakilan itu ditegakkan di atas fondasi tanggung-jawab pemerintah, kedaulatan umat dan penghargaan terhadap aspirasi mereka… Atas dasar ini, tidak ada prinsip-prinsip sistem perwakilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Islam untuk menata pemerintahan. Dengan demikian, berarti sistem perwakilan bukanlah sesuatu yang asing dan jauh dari sistem Islam.” [9]

Dilandasi keyakinan terhadap prinsip musyawarah inilah, Ikhwan menjelaskan komitmen mereka terhadap sistem demokrasi sesuai dengan pemikiran Ustadz Al-Banna. Ini juga sebagai konsekuensi logis dari pilihan jalan perjuangan secara konstitusional. Penerimaan terhadap sistem demokrasi ditempatkan dalam konteks perlunya perjuangan politik, sehingga da’wah bisa membangun pengaruhnya di dalam kekuasaan dan melakukan perubahan melalui instrumen kekuasaan politik yang dimiliki. Mengenai hal ini Hasan Al-Banna menegaskan:

“lkhwanul Muslimin memandang bahwa reformasi politik adalah pintu esensial dan mendasar bagi semua upaya reformasi di berbagai bidang. Reformasi ini terletak pada tuntutan disegerakannya penyelenggaraan pemilu yang konstitusional, yang akan menjamin netralitas dan kebersihannya. Hal ini bisa terealisasi pemilu itu diawasi secara ketat oleh lembaga peradilan, sejak dipersiapkannya pendaftaran baru bagi para pemilih, pembubuhan tanda tangan di samping nama asli dari setiap pemilih dalam daftar pemberian suara, hingga puncaknya pada penghitungan dan pengumuman hasil-hasil pemilu. Ikhwan telah menyiapkan diri dan mengumurnkan kesiapan mereka untuk berkomitmen dengan kaidah-kaidah demokrasi.” [10]

Inilah Jalan Musyarakah!

Pandangan-pandangan di atas, secara jelas dan tegas telah memposisikan Ikhwan sebagai gerakan dakwah yang secara sadar masuk ke dalam lapangan politik, untuk kemudian secara konstitusional berkompetisi dengan unsur-unsur kekuatan politik lain dalam bingkai mekanisme demokrasi. Dan dalam kancah pemikiran, Ikhwan terus mengenalkan prinsip dan pemikiran Islam mengenai reformasi, demokrasi dan sistem pemerintahan menurut pandangan Islam.

Komitmen ini akhirnya membawa Ikhwan pada prinsip lain dalam perjuangan politiknya, yaitu musyarakah atau keterlibatan partisipatif secara ijabiyah-banna’ah atau positif dan konstruktif, baik di mimbar parlemen maupun pemerintahan. Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa dasar pertimbangan utama prinsip musyarakah ini adalah kearifan dan hikmah, lalu pemeliharaan atas kondisi, baik yang umum maupun khusus, agar dakwah mendapatkan sebesar mungkin manfaat dengan sesedikit mungkin pengorbanan.[11]

Musyarakah di panggung parlemen diputuskan pertama kali dalam Muktamar Keenam Ikhwan, di Kairo pada tahun 1942, yang memutuskan ikut serta dalam pemilu dan Ikhwan mengajukan beberapa kadernya ke pemilihan anggota legislatif. Ikhwan mendorong para orator dan da’inya untuk naik ke “mimbar parlemen” ini guna menyampaikan kalimat dakwah dari atasnya, agar sampai ke telinga para wakil umat di wilayah yang resmi dan terbatas ini, setelah ia tersebar dan sampai di tengah umat dalam wilayah yang terbuka dan luas. Imam Hasan Al-Banna ketika dicalonkan untuk menjadi anggota parlemen tahun 1944, memberi komentar: “Majelis parlemen itu bukan hanya terbatas milik para penguasa politik dan tokoh partai dengan berbagai alirannya, akan tetapi ia adalah mimbar rakyat. Dari atasnya bisa diperdengarkan semua pemikiran yang baik dan dihasilkan dari sana pengarahan yang benar, yang mengungkapkan aspirasi rakyat…”.[12]

Ikhwan juga menjadikan musyarakah di pemerintahan sebagai prinsip perjuangannya. Semenjak jamaah Ikhwan berdiri pada Maret 1928, berbagai memorandum, proposal dan program reformasi menyeluruh telah diajukan oleh jamaah ini. Semua ini menegaskan bahwa jamaah Ikhwan menganut manhaj musyarakah ijabiyah banna-ah (partisipasi positif konstruktif) bagi perbaikan umat. Juga tidak asal kritis dengan hanya menunjuk sisi-sisi negatif, kelemahan dan kesalahan-kesalahan tanpa solusi.

Memang harus diakui, keterlibatan gerakan Islam dalam pemerintahan yang  tidak Islami termasuk masalah krusial yang menyita perhatian banyak aktivis di lapangan. Ikhwan secara serius mengembangkan kajian tentang masalah ini, dan mempertimbangkan pandangan-pandangan dari berbagai ulama dari sejumlah uviversitas dan lembaga-lembaga Islam lain.[13] Gerakan Islam terkadang melihat kondisi dan masa di mana keterlibatan dalam pemerintahan dapat mewujudkan kemanfaatan yang besar bagi Islam dan kaum muslimin, bahkan terkadang menyebabkan runtuhnya kebatilan dan teguhnya kebenaran. Dahulu, Shalahudin Al-Ayubi menjadi pejabat di pemerintahan Al-Ubaidi. Dengan posisinya, ia dapat mencegah perilaku para petinggi Ubaidi dan mendongkel berkuasanya mereka, sekaligus mengembalikan kebenaran pada relnya semula.

Ustaz Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy – sekarang menjabat Mas’ul Jihaz Tarbiyah Maktabul Irsyad Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun – membuat beberapa kesimpulan tentang kemaslahatan yang dihasilkan dari keterlibatan gerakan Islam di pentas pemerintahan sebagai berikut:[14]

  1. Mengantisipasi berbagai kerusakan, konspirasi, dan berbagai tipudaya terhadap gerakan Islam sampai batas tertentu, dengan cara mengintai berbagai rencana tersembunyi lalu berusaha menggagalkan rencana tersebut.
  2. Memberikan contoh Islami kepada masyarakat dan memberikan pemahaman kepada mereka bahwa kader jama’ah itu bukan kelompok ahli wirid yang mengisolasi diri, namun mereka mampu pula untuk memimpin rakyat dan mengelola negara.
  3. Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada Islam dan kaum muslimin, dan bahwa Islam adalah agama yang mampu mengatur berbagai urusan kehidupan, baik yang khusus maupun yang umum, dan itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang terlibat, untuk mewujdukan keadilan dan menghancurkan kebatilan.
  4. Menambah pengalaman jama’ah dalam mengelola pemerintahan. Tanpa pelatihan semacam ini maka keahlian tidak mungkin didapatkan.
  5. Gerakan Islam menjadi kenal terhadap pemerintah yang berkuasa untuk kemudian menjauhkan ekses buruknya.
  6. Memberikan pelatihan dan pengajaran terhadap kader dan spesialis dakwah, dengan cara mengikutkan mereka dalam pengiriman urusan ke luar negeri, yang biasanya dikelola oleh kementrian.
  7. Menciptakan sejumlah orang dari jama’ah agar mereka nantinya memiliki posisi terhormat di tengah masyarakatnya untuk pos-pos tertentu. Mereka ini akan sangat besar manfaatnya dalam banyak situasi dan bisa pula memecahkan berbagai persoalan, baik yang dihadapi jama’ah maupun personilnya.
  8. Menambah pusat-pusat Islam dan meminimalkan pusat-pusat kekufuran dengan mendominasi pemerintahan yang berkuasa.
  9. Melatih kader gerakan untuk mahir berpolitik dan mampu mengatasi permainan-permainannya.
  10. Mengambil manfaat dari wibawa kekuasaan untuk kemaslahatan jama’ah.
  11. Boleh jadi, tatkala orang-orang saleh dilarang terlibat dalam pemerintahan, posisinya akan digantikan oleh kalangan komunis atau salibis, yang jika mereka mendapatkan pusat-pusat kekuasaaan maka mereka akan berusaha menggunakannya sekuat mungkin untuk memerangi gerakan Islam, bahkan untuk memerangi Islam dan kaum muslimin.

Pertimbangan maslahah di sini bukan berarti mengambaikan kemungkinan mafsadatnya. Bahkan dalam pandangan Ikhwan, mafsadat keterlibatan sangat mungkin lebih kuat daripada semua maslahat yang mungkin diwujudkan, apalagi jika hanya berupa waham. Demikian itu, karena ia berhubungan dengan akidah dan masalah universal, yaitu kewajiban berhukum dengan undang-undang yang diturunkan Allah SWT.

Akan tetapi, bagi Ikhwan fiqh muwazanah yang diterapkan dalam masalah ini adalah, antara produk musyarakah – yakni: (1) bertahannya pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah, (2) terhindarnya sebagian mafsadat walaupun hanya 1%, dan (3) terwujudnya sebagian maslahat, katakanlah sebesar 2% – diperbandingkan dengan produk adamul-musyarakah atau tidak terlibat dalam pemerintahan, yakni: (1) bertahannya pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah, (2) bertahannya mafsadat seutuhnya, dan (3) hilangnya sebagian maslahat yang bisa didapatkan.

Jadi, pertimbangan sesungguhnya adalah bukan menimbang antara pemerintahan jahiliyah dengan pemerintahan Islam, melainkan menimbang antara pemerintahan jahiliyah dengan terlibatnya para aktivis Islam, dan pemerintahan jahiliyah tanpa keterlibatan aktivis Islam. Perlu diingat, di kalangan ahli ushul dikenal kaidah bahwa: “jika halal dan haram berhadap-hadapan, maka yang halal harus dimenangkan”. Tidak adanya keterlibatan tidak bisa mengubah pemerintahan dari jahiliyah menjadi Islam. Sedangkan ikut terlibat bisa mengurangi sebagian dari mafsadat pemerintahan jahiliyah dan bisa mewujudkan sebagian maslahat untuk kaum muslimin yang diperintahkan syari’at.

Sekali lagi, Al-Ikhwan Al-Muslimun memahami dari risalah Islam bahwa di saat tidak memungkinkan bagi tegaknya hukum Islam, maka tidak ada larangan untuk musyarakah dalam mendirikan atau mengelola kekuasaan yang memberikan ruang  bagi keadilan dan hak asasi manusia, bahkan walaupun nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan bagian dari Islam itu tidak berdiri di atas akidah Islam. Sebab, siyasah syar’iyyah – sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Aqil – adalah: suatu perbuatan, bersamanya manusia lebih dekat kepada kebaikan dan jauh dari kerusakan, walaupun tidak dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun terkait dengannya.[15] Wallahu A’lam bish-Shawab.


[1] Dikutip dari Risalah Ikhwan dan Amal Siyasi, terbitan Maktab Al-Irsyad Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, tanpa tempat dan tahun, hal.2.

[2] Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Fiqhu As-Siyasi ‘inda Al-Imam Hasan Al-Banna, Penerbit Darul Basyir lits-Tsaqafati wa Al-’Uluum, 1998, hal. 95.

[3] Hasan Al-Banna, Risalah At-Ta’lim, dalam Majmu’atu Ar-Rasail ‘Inda Imam Hasan Al-Banna, Penerbit Daar Andalus, hal. 15.

[4] Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, An-Nizham As-Siyasi fil-Islam, hal. 299-300.

[5] Hasan Al-Banna, Risalah Mu’tamar Al-Khamis,  Op.Cit.

[6] Lihat Dr. Ibrahim Al-Bayumi Ghanim, Al-Fikru As-Siyasi lil-Imam Hasan Al-Banna, Daarut Tauzi’ wan-Nashr, 1996, hal. 377-396.

[7] Lihat Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh Ad-Daulah fil-Islam, Daarus Syuruq, Kairo, 1997.

[8] Lihat dalam Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy,  Al-Fikru As-Siyasi Al-Muashir ‘inda Al-Ikhwan Al-Muslimin, Penerbit Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, tahun 2000.

[9] Hasan Al-Banna, Risalah Musykilatuna Ad-Dakhiliyah fi Dhau’in Nizhamil Islami, Op. Cit.

[10] Hasan Al-Banna, Risalah Ikhwan wa Qadhaya Muashirah, Ibid.

[11] Lihat dalam Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Op. Cit., hal. 147.

[12] Ibid.

[13] Salah satu hasil kajian yang dijadikan rujukan oleh Ikhwan adalah risalah dari Fakultas Suari’ah dan Dirasat Islamiyah di Universitas Kuwait di akhir tahun delapan puluhan. Pokok pandangannya antara lain menempatkan keterlibatan dalam pemerintahan sebagai masalah furu’ yang tunduk pada aneka pertimbangan, di antaranya pertimbangan mashlahat.

[14] Ibid. hal. 141-237.

[15] Lihat Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 13.

Tinggalkan komentar