KH Rahmat Abdullah (In Memoriam)


episode-cinta-sang-murabbi KH Rahmat Abdullah dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 3 Juli 1953. Putra kedua dari 4 (empat) bersaudara ini hidup dari keluarga asal Betawi yang sederhana dan taat beragama. Pada usia 11 tahun ia harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, saat itu ia mulai berstatus sebagai seorang anak yatim.

 

Awal pendidikan resminya, disamping dididik oleh kedua orangtuanya, ia memasuki sebuah perguruan Islam yang terkenal di Jakarta, Perguruan Asy-Syafi’iyah bimbingan KH Abdullah Syafi’i (tokoh Islam yang berwibawa di kota ini) hingga menamatkan sekolah tingkat Aliyah (tingkat menengah) dengan prestasi yang gemilang. 

Rahmat Abdullah muda sangat berbeda dengan kaum remaja seusianya pada saat itu. Ia taat beribadah, disamping mempunyai karakter dan akhlaq yang mulia. Hariharinya dihabiskan untuk belajar, membaca dan membaca. Bahkan di usianya yang sangat muda, ia telah memposisikan dirinya sebagai guru ditempat ia menuntut ilmu.

 

Dunia ilmu adalah dunia yang sangat melekat dalam dirinya. Kegemarannya membaca al Qur’an dan aneka buku membuat ia jauh lebih cepat matang dibandingkan dengan remaja-remaja lain pada umumnya.Di saat inilah ia banyak membaca pikiran-pikiran para tokoh perjuangan, seperti HOS Cokro Aminoto, Moh. Natsir, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Maududi dan tokoh-tokoh lainnya.Di samping ia tetap menekuni kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai warisan sejarah. 

Kebersihan jiwanya telah mengantarkan Rahmat Abdullah menjadi pemuda pembelajar cepat yang sangat cemerlang seperti sebuah lautan ilmu tanpa menyandang gelar. Ia perpaduan antara khazanah ilmu-ilmu keislaman klasik dan pandangan Islam modern yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang berlabel sang ustadz.

 

Dunia seni dan sastra sebagai media komunikasi budaya juga merupakan bagian bagi dirinya yang tak pernah lepas. Antara bakat dan semangat yang telah melekat. Ia gemar dzikir dan fikir, membaca fenomena alam yang kemudian diekspresikan dalam bentuk produk seni, seperti puisi, esai, butir-butir nasyid dan naskah drama. Oleh karena itulah banyak orang cenderung menjulukinya sebagai seorang “budayawan”. 

Sebagai da’i sejati, ia habiskan waktu, tenaga serta pikirannya untuk kegiatan da’wah. Siang dan malam dilaluinya pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh kesah. Ia menjadi tempat anak-anak muda berkonsultasi, berbagi rasa, curahan hati tanpa ada batas waktu “pelayanan ummat”. Itulah peran yang ia mainkan hingga kini.

 

Sebagai seorang Muballigh, ia dikenal memiliki karakter yang khas. Kemampuan retorika tinggi yang dihiasi oleh sentuhan sastra yang unik, acap kali membuat para pendengar menangis sebagaimana kemampuan ia membangkitkan semangat yang menggelora ketika ia mengangkat isu tentang jihad. 

Beliau juga aktif mengisi ceramah di radio dan televisi. Beliau adalah pengisi rutin rubrik “Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta Bekasi setiap Sabtu jam 06.30 WIB. Di radio ini pula beliau menggagas rubrik SAMARA yang disiarkan setiap malam Rabu.

 

Sebagai seorang penulis, beliau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi. Di majalah yang disebutkan terakhir inilah, beliau secara rutin mengisi rubrik Asasiyat yang kemudian oleh Pustaka Dakwatuana diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Untukmu Kader Dakwah” pada tahun 2005. 

Awal tahun 80-an, ia memasuki dunia harokah Islamiyah yang pada saat itu mulai tumbuh di Indonesia hingga menghantarkan beliau sebagai pakar dalam bidang Tarbiyah, majalah Sabili pernah memberinya gelar “Syaikh at Tarbiyah” pada tahun 2001. Dengan bermodalkan sepeda motor tua ia masuk kampung keluar kampung, masuk kampus keluar kampus menabur fikrah Islamiyah yang shahih dan syamil. Fikrah Ikhwanul Muslimin yang didistribusikan ternyata mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PKS.

 

Awal tahun 90 beliau memasuki pengembangan dunia pendidikan dan sosial secara formal, sebagai wujud dari kepeduliannya terhadap lingkungan. Ia mendirikan ISLAMIC CENTER IQRO’ yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan da’wah di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Di sinilah ia menetap dan disinilah ia berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik setiap Ahad pagi. 

Proses perjalanan da’wah yang panjang akhirnya telah menggiringnya pada keterlibatan dalam dunia politik yang kini ia geluti. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah bagian dari dirinya. Ia salah satu pendiri dari partai yang berbasis islam intelektual itu.

 

Posisi tertinggi dalam partai, yang pada saat ini diperhitungkan itu, telah dicapainya. Sebagai bentuk kepercayaan penduukung terhadapnya. Disamping ia menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Majelis Syuro, iapun menjabat sebagai anggota DPR-RI (parlemen). 

Hari-harinya diwarnai oleh kesibukan yang luar biasa. Mengajar, ceramah di berbagai stasiun radio dan televisi, mengisi seminar-seminar keislaman di berbagai daerah dan luar negeri, menulis artikel di sejumlah media cetak, disamping melakukan tugas lobby politik dengan berbagai kalangan.

 

Di akhir hayatnya, beliau masih sempat mengikuti rapat Lembaga Tinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Selasa (14 Juni 2005) di Gedung Kindo Duren Tiga Jakarta Selatan yang dimulai ba’da Ashar sekitar jam 16.30 WIB. tak ada tanda-tanda kalau beliau sedang sakit. Wajahnya cerah seperti biasa. Namun, ketika beliau wudhu untuk menunaikan shalat Maghrib, beliau merasakan sakit di sekitar kepalanya. Beliau sempat diperikas dr. Agus Kushartoro, Direktur Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Ia dinyatakan terkena stroke. Sempat dibawa ke rumah sakit Triadipa Pancoran, akan tetapi karena peralatannya kurang memadai, beliau lalu dibawa ke rumah sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta. Namun di tengah perjalanan, beliau dipanggil Allah Swt. Beliau wafat dalam usia 52 tahun, meninggalkan satu istri dan tujuh orang anak. 

SELAMAT JALAN MUJAHID DAKWAH. MURIDMU, KADER-KADERMU AKAN MENERUSKAN CITA-CITA DAN PERJUANGANMU. 

(Syamsu Hilal/Novri)

 

 

 

—————————————————————————

Syaikhut Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: “Ikhwanul Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah”

 

Usianya belumlah setengah abad. Tapi pembawaannya yang tenang kebapakan serta rambut dan janggutnya yang sebagian telah memutih, mengesankan pria kelahiran Jakarta, 3 Juli 1953 ini lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sehingga cukup pantas bila ia kerap dituakan dan disegani oleh lingkungan pergaulannya.

 

Dalam publikasi acara Seminar Nasional “Tarbiyah di Era Baru” di Masjid UI, Kampus UI Depok, awal bulan lalu, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah; sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan aktivis da’wah dan harakah (pergerakan) selama ini.

 

Ketika dikonfirmasi Sahid tentang jabatan tersebut, sambil tersenyum dan merendah Rahmat membantahnya. Menurut Ketua Yayasan Iqro’ Bekasi ini sebutan tersebut hanyalah gurauan panitia yang kebetulan telah akrab dengannya. Rahmat sempat mengajukan keberatan kepada panitia, tapi ternyata publikasinya sudah terlanjur disebar. Akhirnya ayah dari tujuh putra-putri ini cuma bisa balik bergurau, “Adik-adik mau nyindir bahwa saya sudah kakek-kakek ya? Syaikh itu kan dalam bahasa Arab artinya kakek.”

 

Boleh jadi jabatan Syaikh Tarbiyah itu, seperti diakuinya, cuma gurauan atau sindiran panitia. Tapi banyak orang percaya sejatinya suami Sumarni HM Umar ini memang orang yang dituakan dalam gerakan yang bernama Tarbiyah. Apalagi mengingat di kepengurusan Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat sebagai Ketua Majelis Syuro dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti dimaklumi, PK didirikan dan disokong oleh para kader Tarbiyah.

 

Dalam seminar nasional yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah, Rahmat mengawali acara dengan orasi bertajuk “Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah di Indonesia dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan.” Dalam kesempatan tersebut dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di Indonesia.

Dalam kancah pergerakan Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah belum populer di kalangan masyarakat awam. Kata tarbiyah lebih biasa dilekatkan orang pada Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), sebuah ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat dan pernah menjadi partai Islam.

 

Namun bagi orang yang akrab dengan gerakan da’wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan itu. Di era ’80-an dan ’90-an gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, karena akrabnya aktivis Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam di Mesir yang pengaruhnya telah mendunia.

 

Dari orasi yang disampaikan Rahmat, memori orang terpanggil lagi pada kenangan 20 tahun ke belakang ketika aktivis Tarbiyah merintis gerakan ini di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Salah satu tandanya adalah merebaknya pengajian usrah dan halaqah di kampus-kampus. Tonggak lainnya, mulai maraknya pemakaian jilbab oleh para siswi dan mahasiswi yang mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan yang alergi terhadap syariat Islam. “Gedung sekolah dan semua peralatan sekolah, termasuk Departemen Pendidikan yang dibangun 90% dananya dari ummat Islam, harus mengusir putri-putri Islam karena mereka menggunakan busana demi melaksanakan perintah agama mereka,” ungkap murid kesayangan almarhum KH Abdullah Syafi’i ini dalam orasinya.

 

Begitu banyak pahit getir yang dirasakan, sehingga ada sebagian kader yang terputus dari jalan perjuangan. Tapi banyak pula yang bersabar, terus bermujahadah menempa diri dan menabung amal, bertahan hingga kini, menyemai insan dakwah ke seluruh pelosok negeri. Hasilnya antara lain, jilbab jadi pakaian jamak bagi wanita di negeri ini. Dari yang benar-benar penuh kesadaran berislam hingga yang masih ikut-ikutan lantaran telah jadi mode.

 

Tentu saja itu semua bukan cuma hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di Tarbiyah. Tapi harus diakui saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain telah memberi itsar (bekas) perjalanan da’wah yang mengesankan di zamrud katulistiwa tercinta ini.

 

Bagaimana sejarah bermulanya harakah ini? Apakah benar terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi Utomo dan Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana nan asri di Kompleks Islamic Village Iqro’, Pondok Gede, Bekasi, kiai yang ramah ini membeberkannya untuk Anda, para pembaca. Berikut ini kutipan dari sekitar tiga jam perbincangan dengannya. Selamat mengikuti.

 

Dengan menggelar seminar “Tarbiyah di Era Baru”, gerakan Tarbiyah tampaknya mulai membuka diri secara terang-terangan. Bahkan tahun ini dicanangkan sebagai ‘Aam (Tahun Kebangkitan) At-Tarbiyah. Apa latar belakangnya?

 

Bismillah, sangat disadari bahwa setiap fase perjuangan itu menuntut sikap-sikap sesuai dengan fase-fase tersebut. Sehingga ada doktrin dalam Tarbiyah yang disebut, likulli marhalatin mutaqallabatuhaa (setiap fase itu ada tuntunannya); kemudian li likulli marhalatin muqtadhayatuhaa, (setiap fase ada konsekuensi yang harus dilahirkannya), dan likulli marhalatin rijaaluhaa (setiap fase ada orangnya, tokohnya atau kadernya).

 

Kemudian, apa yang kita sampaikan ketika dakwah ini mengalami satu fase yang berbeda dengan masa lalu? Kemarin dakwah berhasil melalui masa-masa sulit, mengayuh diantara dua persoalan dan kondisi, yakni kondisi melawan arus yang tidak terlawan dengan kekuatan yang secara thobi’i (alami) susah dihadapi secara face to face, serta kondisi larut.

 

Memang, dalam fase itu, kita lihat banyak juga yang tidak memiliki istimroriyah (kesinambungan), kontinyunitasnya tidak jelas. Kalaupun ada yang berjalan terus, perkembangannnya menyedihkan. Ada juga yang berkembang tapi kehilangan asholah (orisinalitas). Ini adalah kasus-kasus perjalanan dakwah dalam menghadapi rezim yang represif dan tekanan budaya. Bisa jadi banyak yang larut. Seperti para pengikut Nabi Isa, setelah beberapa lama malah jadi pengikut penjajah yang nyaris menyalib Nabi Isa sendiri.

 

Nah, kita ingin, keberhasilan melewati masa-masa kritis dan sulit semacam itu juga bisa kita capai ketika keadaan ini berubah, karena tidak otomatis daya tahan itu ada. Makanya harus dicanangkan sesuatu agar apa-apa yang menjadi doktrin Tarbiyah di atas, bisa direalisasikan.

 

Bisa jadi, kader yang dulu tahan menderita lama, tiba-tiba ketika segalanya terbuka seperti sekarang ini, menjadi tidak tahan lagi. Kalau dulu kan jelas sekali perbedaannya, furqon-nya, antara haq dan batil, sehingga akhlak para kader itu selalu berlawanan dengan akhlak buruk orang-orang memusuhi mereka. Nah, setelah keadaan ini terbuka, apa ada jaminan bahwa mereka tidak akan larut?

 

Memang, secara doktrin sudah diantisipasi, misalnya dengan pemahaman tentang tamayyu’ (mencairnya nilai-nilai), idzabah (pelarutan), istifdzadzat (provokasi), ighra’at (rayuan-rayuan), dan mun’athofat (tikungan-tikungan). Secara teoritis kita tahu semua tentang itu. Tapi ketika kita menjalaninya, apakah kita cukup siap?

 

Maka pencanangan ini beranjak dari kenyataan, dimana sebuah komunitas dakwah sedang mengalami fase-fase lain yang berbeda dengan fase ketika mereka dibesarkan dulu. Pencanangan ini untuk menyiapkan sesuatu yang secara teoritis sudah mereka kenal, tetapi secara komunal, penghayatan, apresiasi perlu dihadapi secara lebih serius agar tidak menimbulkan persoalan yang rumit yang menyebabkan taurits (pewarisan) itu menjadi terputus.

 

Dulu dimulai satu langkah dan hasilnya adalah hari ini. Bagi yang tidak mau melihat hasil yang sama di hari nanti, ya sekarang diam dan tidur saja. Tapi kalau ingin melihat terus-menerus keadaan seperti ini, maka harus bergerak untuk masa mendatang. Ini terutama yang melatarbelakangi pencanangan ‘Aam At-Tarbiyah (Tahun Tarbiyah).

 

Tapi perlu dicatat bahwa pengertian tarbiyah (pendidikan) ini tidak menafikan proses tarbiyah yang terjadi di Indonesia sejak dulu. Tanpa proses tarbiyah, bagaimana mungkin walisongo dapat melahirkan pejuang-pejuang handal. Apapun namanya, apakah itu pengkaderan dengan ‘t’ kecil (tarbiyah), yang jelas itu adalah proses pendidikan. Namun Tarbiyah yang sedang kita perbincangkan dalam konteks ini adalah dengan ‘t’ besar, Tarbiyah (sebagai nama sebuah gerakan, red).

 

Wanti-wanti tentang pelarutan ini pernah Anda sampaikan waktu Munas PK tahun 2000. Apakah memang anda sendiri sudah melihat kecenderungan itu, sehingga perlu ada pencanangan ini?

 

Kalau kita baca sirah (sejarah), Rasululllah pernah berpesan diantaranya “ma al-faqru bi akhsya alaikum, bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian, tapi aku mengkhawatirkan apabila bumi di buka (dimenangkan) lalu kamu bersaing memperebutkan dunia, sehingga kamu celaka, sebagaimana celakanya orang-orang sebelum kamu.” Dulu, kesulitan itu membuat segalanya terbatas, dan kita berhasil melewatinya. Contohnya, kita tidak punya villa, tapi bisa menikmati banyak villa. Dan kawasan Puncak (Bogor, red) yang dianggap identik dengan maksiat, seperti hari ini bisa berubah sebagai tempat acara pengajian karena seringnya digunakan untuk pengkaderan oleh semua pihak, diantaranya oleh kalangan Tarbiyah.

 

Wanti-wanti rasul itu, dalam kaitan ini, menegaskan bahwa setiap kondisi ada pengaruhnya. Kalau dulu, setiap waktu mereka bisa bertemu, sehingga kesalahan sedikit saja bisa langsung diketahui. Tapi ketika mereka sudah ada di kawasan yang menggiurkan, secara massal tantangan akan semakin keras. Sesuatu yang menggiurkan, kalau baru cerita, masih bisa bilang tidak mau. Tapi kalau sudah sudah di depan mata, bagaimana mungkin tidak tidak tergoda.

 

Supaya tidak larut, mereka jangan sampai lupa kepada akarnya. Makanya, pemantapan nilai Tarbiyah dalam pencanangan ini tidak bisa kita abaikan, meskipun sekarang mereka masih rutin bertemu setiap pekan dengan muhasabah (evaluasi) dan muraqabah (pengawasan).

 

[hidayatullah.com]

 

KH. Rahmat Abdullah (Ketua Majelis Syuro PK): “Saya Ingin Lebih Banyak Menggali Ilmu dan Menyebarkan Dakwah Ini”

 

Bawaannya yang teduh dan khusyu’, kadang diselingi canda selalu menjadi ciri khasnya. Di tengah usianya yang sudah ‘sepuh’, ustadz asli Betawi ini tetap bersemangat menda’wahkan Islam. Beliau ingin agar ada tunas-tunas muda PK yang menggantikan dirinya. Kepada Suara Keadilan Al-Ustadz Rahmat Abdullah menuturkan kisah hidupnya. Selamat menyimak !

 

Bisakah diceritakan aktifitas sehari-hari ustadz?

 

Selain ibadah harian rutin, biasanya saya membaca. Dan itu tak bisa ditawar-tawar. Apa saja ; buku, majalah, surat kabar, internet/e-mail, Alqur-an dengan tafsirnya, hadits dengan syarahnya. Urusan rumah tangga, biasanya saling bantu. Dari menyiapkan sarapan anak-anak sampai ganti bola lampu yang kadang dalam setahun bisa sampai setengah lusin pertitik mata. Ini listerik Indonesia, sebelum dan sesudah masuknya modal Soros. Selain itu kegiatan da’wah ; mengisi tabligh di masjid-masjid lingkungan, masjid kantor dan kampus, atau pengajian rutin khsusunya di masjid Alqalam Islami Center IQRO’ tempat saya bermukim.Biasanya dengan modul atau baca kitab. Sepekan dua hari @ 4 jam pelajaran saya mengisi di kelas SLTPI Terpadu IQRO’. Lepas subuh sampai jam 08.00 harus melayani penelepon, yang kalau saya keluar sebelum fajar, biasanya mereka kejar pada malam harinya atau langsung ke HP. Temanya dari permintaan berceramah, fatwa, konsultasi jodoh & keluarga termasuk problem inter relasi dan krisis Samara (sakinah, mawaddah & rahmah).

 

Soal riwayat pendidikan gimana ustadz?

 

Disamping SDN, seperti umumnya generasi saya, pagi mengaji (Bacaan Al-qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz. Tahun 1966 lulus SD yang tahun ajarannya diperpanjang ½ tahun, gara-gara peristiwa G-30-S/PKI, kemudian masuk SMP. Keluar lagi karena ironi, koq sementara aktif demonst rasi KAPPI & KAMI/angkatan 66, hari Jum’at sekolah masuk pukul 11.30. shalat Jum’atnya bagaimana. Permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/68 ?) masuk Ma’ahid Assyafiiyah. Hasil test dan interviu, saya harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Coba-coba lobby seorang ustadz, test ulang dan naik jadi kelas III. Ini tahun yang sangat berbekas. Ikut mengaji pada seorang ustadz senio MTs. yang sangat streng berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab, eh, ternyata tak lama sesudah itu guru kelas saya sama-sama mengaji disana. Tahun ini sampai kelas V (naiknya loncat kelas), berkat ilmu nahwu dasar, terkuaklah misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, radio RI untuk siaran ke dua Arab, yang selama ini saya dengar di rumah, karena ayah sangat mementingkan komunikasi dan informasi, yang karenanya berusaha punya radio yang sebenarnya jadi status symbol orang-orang kaya zaman itu, betapapun beliau miskin. Kelas V langsung ujian dan melanjutkan di Mts. Assyafiiyah. Di Madrasah Tsnawiyah sudah diajarkan ushul fiqh, mustalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, disamping materi-materi standar lainnya ; nahwu, sharf, balaghah. Kegiatan lain ialah kegiatan talaqqi, biasanya kajian langsung dengan para masyaikh/kiayi. Pada dasarnya kerja keras menggali dan meneliti merupakan faktor dominan sesudah taufiq dan hidayahnya. Tanpa mengurangi hormat dan respek kepada mereka yang telah berjasa, kiranya tanggungjawab ilmiah dan amaliah harus kita berikan langsung sendirian di hadapan ALLAH saat pendengaran, penglihatan dan hati dimintai pertanggungjawaban atas kerja mereka.

 

Kabarnya pertemuan ustadz dengan istri punya cerita tersendiri?

 

Kadang kita melihat sesuatu bertahun-tahun tanpa mengerti apa maknanya bagi kehidupan kita kelak. Ia adalah mosaik ingatan sejarah yang belakangan tersusun sesudah rumah tangga terbangun. Tidak ada yang istimewa bagi ingatan sejarah seorang santeri kelas II Mts. yang mengasah ilmunya dengan mengajar, ketika seorang siswi kelas I M.Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun) ditemukannya laik menjadi nominator juara I untuk praktek ibadah (shalat). Dan tahun-tahun terlewatkan sudah. Ketika keluarga ini – tanpa sadar dan semata-mata hormat mereka kepada aktifis da’wah dan pendidikan – menjadi semacam kahfi perlindungan dalam suasana represif yang berat (saya beberapa kali diwonted untuk urusan yang sekarang jadi sangat menggelikan). Ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga, barulah tersadari usia sudah memasuki tahun ke 32. Malam itu, malam Kamis 14 Ramadlan 1405 H. (1984 M), bertiga ; saya, ibunda dan bibi datang mengkhitbah. Seorang ustadz yang jadi juru bicara keluarga calon isteri menawarkan gagasan rada aneh. Ketika saya ajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah SAW. dikatakannya, itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti pilihan ini. Maksudnya, untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadlan. Ini bukan khurafat, nujum atau takhayul, melainkan tafaul. Di kalangan generasi da’wah kala itu, sikap separatisme batin sangat terasa dan mempengaruhi gerak lahir. “Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje”. Bah, ini rada-rada ketemu. Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadlan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, ini mau kemana sih ? Belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam dan paginya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Lucu juga, mertua usul agar isteri diajak juga keliling berbagai kota di Jawa untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah.

 

Bagaimana kiat ustadz mendidik istri dan anak ditengah kesibukan yang melimpah? Menanamkan tsiqah (keyakinan) bahwa da’wah bukan kerja main-main. Sedikit apapun waktu yang tersisa untuk mereka selalu harus bermakna dan menjadi kompensasi kehilangan itu. Tidak ada dusta walaupun hanya untuk menenangkan seseorang yang gelisah. Kalau ada janji dengan mereka yang terpaksa dibatalkan, itu harus difahami sebagai pengorbanan bagi hal yang lebih penting dari sekedar keperluan mereka. Efeknya memang lumayan. Anak-anak tidak akan membiarkan orangtuanya punya kesempatan mengganti tidur yang kurang saat telepon berdering atau tetamu datang. Mereka tidak punya jawaban : “Tunggu ya, Abi capek/ngantuk, tidur dulu”. Sejak awal isteri mendapatkan wawasan bahwa bagi seorang da’i, baca koran atau majalah itu bagian dari kerja, seperti para buruh dan pegawai itu bekerja di kantor dan lapangan kerja mereka. Jadi tak boleh dianggap sedang ‘nganggur’ (mungkin dulu buah anggur itu dikenal masyarakat Melayu dari penjajah mereka tanpa bisa menjangkaunya, karena harganya amatlah mahal. Karenanya memimpikan makan anggur memang tak pernah menghasilkan apa-apa kecuali khayalan, berbeda dengan makan kecapi yang tiap waktu boleh dipetik, bahkan asal timpuk). Imbangannya, mereka punya hak untuk kumpul bersama (sayang belum terjadwal secara rutin). Hal utama yang harus disemai ialah iman, harapan, kejujuran, persaudaraan & kepedulian. Anak-anak lahir dengan bawaan yang berbeda. Semua mereka harus punya tempat di hati ayah-ibu mereka. Terkadang muncul kecemasan atas perbedaan-perbedaan ini. Betapa tidak, ada anak yang marahnya serius ketika tidak dibangunkan sahur Senin atau Kamis sampai lemah semangatnya hari itu. Sementara ada yang masih perlu terus diingatkan untuk disiplin shalat. Dari sini kami belajar bagaimana menjadi arif bijaksana dan sabar. Arif untuk bisa memahami kegelisahan, ketakutan, keterasingan, harapan, kegembiraan dan kegembiraan mereka, dengan parameter dan modal pengalaman mereka yang hijau. Bijaksana untuk mengkomunikasikannya dengan bahasa mereka. Sabar untuk tidak menghakimi mereka seperti menghakimi orang dewasa yang bahkan kerap lebih beruntung mendapatkan pembenarana-pembenaran atas pelanggaran mereka dibanding anakanak. Banyak teori pendidikan yang terus dicoba, namun satu hal yang tak boleh dicoba-coba ; doa. Bila doa seorang muslim untuk saudaranya yang jauh atau di luar pengetahuannya (Addu’a bi zahri’l ghaib) itu dijamin terkabul dan malaikat mengaminkan serta mendoakan si pendoa, betapakah doa seorang ayah untuk kebaikan mereka tidak demikian ? Kalau kita mendapatkan larangan untuk membaca Alqur-an dalam ruku’ dan sujud, tentu tidak demikian dalam mengutip doa-doa Alqur-an. Karenanya, sudah bukan sekedar hafal, tetapi jadi refleksi kata untuk mengulangi doa dalam Qs. 46;15/ 25;74/14;40-41) dalam berbagai situasi, khususnya dalam sujud malam yang tak seberapa itu.

 

Selepas Munas I, bagaimana perasaan ustadz setelah terpilih jadi Ketua MS?

 

Cuma pindah ruang, tanggungjawab da’wah satu dengan variasinya masing-masing. Semuanya berjalan dengan prinsip “Wattaqu’LLAH wa yu’allimukumu’LLAH” (bertaqwalah kamu kepada ALLAH dan nanti ALLAH akan ajarkan kamu/Qs. 2;282). Selalu terbayang ungkapan sahabi Sa’d bin Waqash RA, sesudah melewati masamasa sulit diantaranya bertujuh bersama Rasulu’LLAH SAW dalam sebuah perjalanan jihad, tanpa makanan tanpa selimut dan mereka hanya dapat makan rumpun padang pasir. Saat ketujuh sahabat tersebut masing-masing sudah menjadi amir atas suatu negeri, ia berkata : “Aku berlindung kepada ALLAH, agar jangan menjadi besar di mataku dan menjadi kecil di Mata ALLAH”

 

Bisa diceritakan bagaimana sampai bisa terpilih jadi ketua MS?

 

Mengalir begitu saja, tak pernah mimpikan posisi ini. Bahkan nyaris terlupa-kan, seperti sudah terjadi berabad-abad.

 

Apa harapan setelah terpilih jadi Ketua MS?

 

Dapat segera meratifikasi produk-produk konstitutif partai yang menjadi acuan kerja dan memudahkan aplikasinya, sehingga ummat lebih banyak lagi menda patkan berkah. Kemudian tumbuh suasana kerja yang lebih kondusif, kader yang lebih sensitif dan terampil serta lembaga yang bergerak sesuai alur, peran, wewenang dan tanggungjawabnya. Hal lain yang sangat saya rindukan,segera disusul dan digantikan oleh kader-kader yang lebih muda. Saya ingin lebih banyak menggali ilmu dan menyebarkannya serta menyemarakkan da’wah ini. Lorong-lorong, gubug-gubug ummat, derak dan dentaman roda dan gerbong KA, ayunan ombak laut, kesunyian angkasa, kawasan-kawasan nun jauh, lembaran-lembaran majalah dan buku yang harus dibaca dan ditulis dan wajah-wajah penuh harapan kader-kader muda bangsa adalah nafas kehidupan yang mungkin lebih akrab. Harus tampil lebih banyak lagi kader yang sarat dengan nilai-nilai langit, khusyu dan tawadlu’ dalam haq, tidak kemaruk jabatan dan norak bila jadi pejabat tinggi, tangkas terampil membela ummat dan kaya dalam berbagai variasi solusi masalah-masalah mereka. Sejak remaja selalu berkibar obsesi khas disamping kegiatan lapangan, yaitu menyambung mata rantai tradisi kajian lama. Ini adalah keprihatinan para ulama amilin akan langkanya kader yang tekun di bidang kafaah (skil) syar’iyah. Sarjana pengangguran sudah banyak, tetapi adik-adik mereka tetap menuju kubangan yang sama. Kapan ada wali murid atau siswa sendiri yang punya obsesi mendalami kitab-kitab klasik. Orang ributkan biaya pendidikanyang mahal. Lesehan baca kitab adalah pendekatan murah, meriah dan (lebih) berkah.

 

Apa program yang sudah dilaksanakan oleh MS?

 

Di Munas, Majelis Syura memilih Ketua, Wakil Ketua dan sekretaris Majelis Syura, Presiden, Sekjen, ketua-ketua Dewan Pimpinan Pusat, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris Majelis Pertimbangan Partai, Ketua dan wakil Ketua Dewan Syariah. Sidang majelis Syura 24-25 Juli 2000 berhasil meratifikasi AD/ART, Kebijakan Dasar Partai, Forum Pengambilan Keputusan, sebagai amanah Munas.

 

Apakah PK tetap akan dipertahankan dan ikut Pemilu 2004?

 

Dari pihak internal PK sendiri tentu. Soal eksternal, lihat aturan mana yang akan disahkan (baca ; dimenangkan). Bila kiblatnya menang-menangan, maka partai dengan perolehan suara banyak akan berusaha menjegal, apa lagi keberadaan PK jadi cermin yang menyilaukan mata. Aib KKN mudah kentara mengkhianati bangsa tak nyaman lagi. Tetapi bila mereka berkiblat pada asas amanah, keadilan dan kebenaran, semua kepentingan tersebut pastilah ditinggalkan.

 

Tanggapan ustadz tentang kondisi Indonesia saat ini dan apa penyebabnya?

 

Inilah puncak krisis terburuk. Ancaman diintegrasi, konflik & krisis moral ; vertikal & horizontal. Vertikal dengan buruknya kinerja pemerintahan. Bangsa yang kaya SDM ini gagal mencetak kader. Pepimpin terdahulu telah mengotori putera-puteri terbaik bangsa dengan KKN sehingga selalu kena ranjau diskualifikasi untuk maju ke arena. Sukar mendapatkan legitimasi. Horizontal begitu mudah timbul benterokan antar etnik atau bahkan sekedar tetangga. Dulu istilah guru dan pelajar sangat mengesankan. Sekarang melihat kumpulan pelajar, masyarakat jadi ngeri akan jadi tawuran massa. Semua berhulu pada materi. Untuk sekedar kesenangan orang bisa jual kehormatan dan iman. Barangsiapa yang punya bashirah akan melihat jiwa yang menangis tersayat perih pada diri pelajar yang mengecat baju mereka, merobek lutut jeans mereka, menari latar dengan dandanan norak, menggoda eksekutif muda di malmal, terlibat jaringan narkoba. Demikian pula pada buruh yang dihina dan tak mendapatkan hak-hak, termasuk untuk shalat dengan aman dan nyaman di tempat kerja mereka.

 

Lantas solusinya bagaimana? Mungkinkah Indonesia akan bangkit lagi?

 

Pada saat Thariq bin Ziad menginjak tanah Andalus dan segera memusnahkan kapalkapal, kepada pasukan ia ajukan dua kata kunci : “Kejujuran dan kesabaran”. Indonesia tidak lebih sulit daripada Thariq dan pasukannya, yang seperti ia sendiri sifatkan ‘lebih hina daripada anak-anak yatim di pesta pora kaum durjana’. Karena para pemimpinnya mayoritas muslim, maka sudah saatnya kembali kepada Islam dan

berhenti mempermainkan dan memphobikan agama. Semua solusi pernah dicoba, kecuali solusi Islam. Ibarat pedagang obat, ummat Islam diancam tak boleh menjajakan obatnya. Tanpa tes, tanpa bukti lapangan, mereka katakan obat Islam itu kuno, tak mempan dan beracun. Padahal Indonesia dan dunia di hampir sepenuh abad 20 ini telah menyaksikan ketidak becusan berbagai obat, bahkan kandungan racunnya sudah menghancurkan bangsa-bangsa. Yang otoriter telah memangkas begitu banyak potensi dan yang liberal telah membiarkan manusia meluncur atas nama hak asasi.

 

Bagaimana menurut ustadz kriteria seorang pemimpin (presiden) di Indonesia?

 

Ia harus dekat dengan tuhannya dan dekat dengan rakyatnya. Tidak harus seorang presiden itu sufi dalam gambaran awam, karena kesufiannya cukup dengan kecakapan memimpin tim dan mendeteksi dengut nadi rakyat. Ia tak boleh membohongi rakyat dengan membiarkan mitos berkembang sekitar dirinya, apa lagi sengaja membuatbuat mitos. Idealnya seperti kriteria Alqur an : kuat, amanat (28;26), pemelihara, penampung aspirasi, visioner (12:55), santun dan kasih (9;128). Dayyuts tak pantas jadi presiden, bahkan jadi suami dan bapak sekalipun. Mereka Cuma bisa menyenangkan rakyat dengan memberikan kebebasan semu. Diperlukan tangan besi dan hati salju pada tempat yang tepat. Bila melenceng, rakyat jadi anarki, harakiri, rendah diri, pendendam, apatis dan pemeras.

Satu pemikiran pada “KH Rahmat Abdullah (In Memoriam)

  1. Ustad semoga kami bisa melanjutkan risalah perjuanbgan dakwah yang telah engkau tebar… D’akan kami menjadi generasi Rabbani yang tak akan berguguran dijalan dakwah ini..
    bUKAN hanya SEBAGAI PENONTON, namun juga ikut membanguan batu bata peradaban dakwah ini
    Semoga Allah pertemukan diJannahNya bersama barisan rASULULLAH dan para syuhada…Amiin

Tinggalkan komentar