RINGAN DI LISAN BERAT DI TIMBANGAN


RINGAN DI LISAN BERAT DI TIMBANGAN

Sumber:http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/02/08/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan/

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun
berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu
‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573]
dan Muslim [2694])

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini
merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga
berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat
ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini
berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan
keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya
sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih,
subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan
dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah
–wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah
ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah
berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang
dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)

Subhanallahi wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah; anda menyucikan
Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa
Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian
kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan
kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah
dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)

Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan
keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan
aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa
Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah
dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan
keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen
yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah
–tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung
penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat
Taudhih al-Ahkam, 4/885)

Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan
sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah,
kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah
ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama
Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang
tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang
tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala
sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya
berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka
bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id
al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati
sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh
kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal
dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal
dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal.
10)

Subhanallahil ‘azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan
berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih
tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya
daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan
sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin,
3/446).

Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala,
inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini
tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap
dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).

Tinggalkan komentar